Konsumen Sophee mengalami kerugian hingga Rp1,4 juta setelah bertransaksi produk digital di salah satu toko dalam platform e-commerce Shopee. Kerugian tersebut dialaminya akibat produk yang bermasalah, keterbatasan mekanisme refund, serta penanganan laporan yang saya nilai tidak transparan.
Kejadian ini bermula pada 15 Desember 2025, saat saya melakukan pembelian tiga produk digital dari satu toko di Shopee. Total nilai transaksi yang saya keluarkan mencapai Rp2.690.000. Sebagai konsumen, saya berasumsi transaksi akan aman karena dilakukan melalui platform besar dengan sistem perlindungan konsumen.
Namun setelah produk diterima dan saya coba gunakan, sejumlah kendala serius langsung muncul. Salah satu produk tidak dapat digunakan sama sekali, sementara produk lainnya menunjukkan indikasi adanya percobaan peretasan balik, yang saya duga berasal dari pihak penjual.
“Di titik itu saya sudah mulai curiga dan khawatir. Apalagi ini produk digital, risikonya tinggi,” demikian yang saya rasakan saat itu.
Sempat Diarahkan CS untuk Tidak Menyelesaikan Pesanan
Pada 17 Desember 2025, saya menghubungi Customer Service Shopee melalui kanal live chat dan terhubung dengan petugas bernama Arif. Dalam percakapan tersebut, saya menyampaikan kekhawatiran saya secara detail dan mendapatkan arahan untuk tidak menekan tombol ‘Selesaikan Pesanan’ selama permasalahan belum benar-benar terselesaikan.
Komunikasi kembali saya lakukan pada 19 Desember 2025, saat saya kembali menghubungi CS Shopee dan terhubung dengan petugas bernama Septi. Saya kembali menegaskan kekhawatiran saya bahwa apabila dana diteruskan ke penjual, ada potensi penjual akan lepas tanggung jawab.
Dalam percakapan tersebut, CS Shopee menyampaikan, “Iya ka, jadi bisa ditunggu dan jangan klik pesanan selesai ya kak,” yang saya pahami sebagai adanya peluang untuk mengajukan refund apabila transaksi tidak berjalan dengan aman dan penjual tidak bertanggung jawab.
Seller Menghilang, Refund Tak Bisa Diajukan
Masalah semakin rumit ketika sejak 19 Desember 2025, penjual sama sekali tidak lagi merespons pesan saya. Hingga akhirnya pada 21 Desember 2025, saya mencoba mengajukan refund melalui menu pesanan di aplikasi Shopee.
Namun pengajuan refund tersebut tidak dapat dilakukan. Saat kembali menghubungi CS Shopee melalui live chat dan terhubung dengan petugas bernama Shopia, saya baru diberi tahu bahwa dana telah diteruskan ke penjual dan periode pengajuan refund telah lewat, sehingga sistem tidak lagi memungkinkan pengembalian dana secara penuh.
Merasa dirugikan, saya meminta agar dana saya dikembalikan 100 persen, mengingat produk tidak berfungsi dan adanya dugaan risiko keamanan. Pada hari yang sama, pihak Shopee kemudian membuatkan laporan pengaduan resmi atas kasus yang saya alami.
Refund Parsial Ditawarkan, Saya Menolak
Pada 25 Desember 2025, saya dihubungi melalui sambungan telepon oleh pihak Shopee. Dalam percakapan tersebut, saya dijelaskan bahwa refund yang dapat diberikan hanya sebesar Rp1.345.000, atau tidak penuh dari total transaksi yang saya lakukan.
Saya secara tegas menolak opsi refund parsial tersebut dan menyampaikan keberatan. Saya juga memberikan tenggat waktu hingga 6 Januari 2025 agar penjual dapat bertanggung jawab penuh dan mengembalikan dana saya 100 persen.
Penolakan tersebut kembali saya sampaikan secara tertulis melalui live chat yang terhubung dengan CS bernama Desna, serta tercatat dalam laporan pengaduan.
Laporan Ditutup Sepihak
Namun tanpa adanya pemberitahuan lanjutan kepada saya, pada 28 Desember 2025, saya mendapati bahwa laporan pengaduan saya telah ditandai sebagai “selesai”, dengan tanggal penyelesaian tercatat 25 Desember 2025, meskipun saya secara resmi telah menolak solusi yang ditawarkan.
Merasa keberatan saya diabaikan, saya kembali membuat laporan baru melalui live chat. Namun ironisnya, kurang dari satu jam, laporan tersebut kembali ditutup secara sepihak oleh CS bernama Tika.
Sorotan terhadap Perlindungan Konsumen Produk Digital
Pengalaman ini membuat saya mempertanyakan mekanisme perlindungan konsumen, khususnya untuk transaksi produk digital di platform e-commerce. Arahan dari Customer Service yang menyarankan saya untuk tidak menyelesaikan pesanan justru berujung pada hilangnya hak refund, tanpa adanya perlindungan tambahan ketika penjual tidak lagi responsif.
Hingga artikel ini ditulis, saya masih menanggung kerugian sekitar Rp1,4 juta, tanpa kejelasan penyelesaian yang saya anggap adil.
Saya berharap pengalaman ini dapat menjadi perhatian bagi pihak terkait agar sistem penanganan komplain, khususnya untuk produk digital berisiko tinggi, dapat dilakukan secara lebih transparan, konsisten, dan benar-benar berpihak pada keamanan konsumen.








